Kisah Maestro

Ice Tede Dara

Ice Tede Dara (Napia) adalah keturunan hubi iki dari wini Jawu. Jika bukan karena kegigihannya mencoba, hari ini Ice tidak akan menjadi seorang penenun yang ahli menggunakan pewarna alam warisan leluhur orang Sabu. Ice tidak pernah diizinkan untuk menyentuh peralatan tenun oleh neneknya. Tugas Ice adalah sekolah dan hanya sekolah saja. Neneknya tidak ingin Ice menjadi seorang penenun. Ice harus memiliki pekerjaan yang baik. Karena itu, Ice belajar secara sembunyi-sembunyi. Karena ketekunannya, saat ini Ice menjadi penenun handal yang menguasai teknik pewarnaan alami, yang hanya dikuasai oleh sejumlah kecil orang tua

Mencuri-curi belajar

Ketika berumur 5 (lima) tahun Napia mulai belajar menenun secara sembunyi-sembunyi. Ketika neneknya sibuk mengerjakan pekerjaan rumah lain, ia mulai mengumpulkan benang-benang sisa tenunan neneknya. Benang sisa itu disambungnya satu per satu hingga menjadi benang utuh dan ditenun menjadi satu ikat pinggang.

Setelah jadi, ia menunjukkan ikat pinggang itu kepada neneknya. Ia berharap neneknya tahu bahwa ia sudah sedikit bisa, dan akan mengizinkannya menenun. Tetapi, neneknya semakin marah. Neneknya justru semakin keras melarang Napia menyentuh semua peralatan tenun.

Napia tidak berhenti berusaha. Napia selalu menunggu neneknya pergi keluar rumah. Ia berlatih menenun sambil mengira-ngira waktu kembalinya nenek. Jika hari sudah mulai sore, ia segera membereskan alat-alat dan sengaja pergi berjalan-jalan ke luar rumah agar nenek tidak curiga.

Akhirnya ketika memasuki bangku SMP, neneknya mengizinkan dia untuk bekerja mengikat benang. Pada saat itu ia hanya diizinkan mengikat bagian kelutu atau motif hitam- putih pada kain. Selain itu neneknya juga mengizinkan untuk menenun kain yang berukuran kecil.

Belajar dari ibu dan tante dalam keterbatasan

Pada saat SMA, Napia pindah dari Seba untuk tinggal bersama dengan ibunya. Napia adalah ana pa ammu, yang artinya seorang anak yang dilahirkan ketika sang ibu masih berada di rumahnya, dan belum menjadi anggota keluarga laki-laki yang dinikahi. Hal ini adalah kondisi yang wajar bagi orang Sabu. Napia justru menjadi bagian yang sangat berharga dalam rumahnya. Oleh sebab itu Napia tinggal bersama dengan neneknya dan mewarisi pusaka-pusaka keluarganya.

Ketika tinggal dengan ibunya, Napia diizinkan untuk membantu ibunya menenun. Tapi tidak banyak waktu dan kesempatan yang Napia miliki. Ketika Napia melanjutkan sekolah dan harus keluar dari Sabu untuk tinggal di Kupang, Napia juga belajar dari tantenya.

Dulu, benang sangat susah didapatkan. Semuanya harus dikerjakan dari awal. Selain proses memintal benang dari kapas yang rumit, pohon kapas pun tidak sebanyak saat ini. Perlu usaha sangat besar untuk menghasilkan benang dan kemudian membuat selembar kain.

Semua keterbatasan ini tidak membuat Napia mundur. Walau dilarang sejak kecil dan tidak banyak kesempatan belajar, Napia tetap bertekat jadi terampil dalam menenun. Napia akhirnya menyelesaikan sekolahnya dan menjadi seorang guru. Tetapi selain menjadi seorang guru, Napia juga adalah seorang penenun handal dengan banyak pengetahuan. Pendidikannya membantu Napia membangun jaringan yang luas untuk membantu melestarikan kerajinan tenun warna alam yang mulai ditinggalkan.