Tuak

Hawu Miha dan Jawa Miha

Pada pagi dan sore hari di musim panas, kita sering mendengar orang menyanyi dari atas Pohon Tuak atau Lontar. Bagaimana asal mula orang Sabu mengiris tuak? Apa yang membuat mereka menyanyi di atas pohon?

Masih ingat cerita tentang Majawi atau Rai Ae dan kedua anaknya, yaitu Ngara Rai dan Piga Rai? Hawu Miha, Jawa Miha dan Babo Miha adalahketurunan Ngara Rai dan Piga Rai.

Miha Ngara adalah seorang yang sangat bijaksana, Ia memiliki banyak pengetahuan dan kuasa. Hawu Miha sangat dekat dengan ayahnya sedangkan Jawa Miha dekat dengan ibunya. Hawu Miha memiliki tubuh yang berambut banyak dan kulit berwarna gelap. Sementara Jawa Miha berkulit terang dan tidak berambut. Miha Ngara mengenali kedua anaknya dengan menyentuh kulit mereka karena Miha Ngara adalah seorang yang buta.

Pada suatu hari Alu Ngara memanggil anak kesayangannya, “Anakku, kamu adalah anak yang paling kusayangi. Tapi sayang, segala pengetahuan yang aku punya, tidak akan berguna untuk kamu. “Pergilah dan bunuh seekor kambing. Berikan daging itu kepada Ayahmu dan ketika kamu mengantar daging itu, kamu harus memakai kulit kambing untuk menutup tubuhmu,” kata Alu Ngara.

Alu Ngara memanggil Hawu Miha dan berkata, “Pergilah untuk menangkap binatang, ayahmu sudah merasa lapar.” Ketika Hawu Miha sudah pergi, Alu Ngara menyuruh anak kesayangannya untuk menghadap ayahnya dengan membawa daging yang sudah disiapkannya. Miha Ngara merasa senang dan ia memberikan segala pengetahuan dan akal budi kepada anak yang berada di hadapannya.

Jawa Miha dan ibunya telah berhasil mencuri segala pengetahuan Miha Ngara, dan tidak menyisakan apapun untuk Hawu Miha. Karena merasa bersalah mereka berdua pun lari meninggalkan Rai Hawu ke tempat yang sangat jauh. Ketika Hawu Miha datang dari berburu, barulah Miha Ngara sadar, ia telah ditipu. Babo Miha melihat semua yang dilakukan saudara laki-laki dan ibunya. Ia sangat sedih karena mereka telah pergi meninggalkan keluarganya.

“Bagaimana dengan ku, Ayah? Semua pengetahuan dan akal ayah sudah diambil Jawa Miha. Tidak ada lagi yang tersisa,” kata Hawu. “Benar anakku, kamu akan bersusah payah, kamu akan berkeringat dan meneteskan air mata agar bisa hidup,” jawab Miha Ngara.

“Masih ada satu hal yang bisa kamu dapatkan. Pergilah ke pohon tuak, aku akan membuat mayang yang bisa kamu panen airnya,” kata Miha Ngara. Hawu Miha menjawab, “Jangan seperti itu ayah. Biarkan pohon itu tinggi, barulah buat mayangnya tumbuh. Aku tidak bisa menjaga binatang-binatang yang memakan mayang pohon tuak.” Miha Ngara pun membuat pohon tuak tumbuh tinggi seperti yang diinginkan anaknya.

Hawu Miha pun datang kembali dengan wajah sedih, “Ayah, air mayang yang aku kumpulkan tidak lagi tersisa. Hanya ada kotoran di dalamnya. Ternak pun ikut meminum air itu.” Miha Ngara menjawab, “Naiklah dan gantunglah haba pada pohon itu. Kamu harus menurunkan air yang kamu kumpulkan setiap pagi dan sore hari.” Hawu Miha melakukan apa yang dikatakan Ayahnya dan hidup dari memanen air nira pohon lontar.

Setiap berada di atas pohon, Hawu Miha selalu menyanyi untuk adiknya. Miha Ngara pung mengerti, Hawu Miha tetap menyayangi merindukan saudara laki-lakinya. “Pergi dan temui adik serta ibumu. Bawalah mereka kembali ke sini,” kata Miha Ngara.

Hawu Miha pun pergi mencari ibu dan saudara laki-lakinya. Setelah jauh mencari, mereka akhirnya bertemu. “Mari, pulanglan denganku. Ayah menunggu di rumah,” kata Hawu Miha. “Saudaraku yang kusayangi. Aku sudah jauh dari rumah. Aku juga sudah memiliki kehidupan di sini.” Jawab Jawa Miha. “Bawalah ini,” kata Jawa Miha sambil memberikan lehu atau destar kepada adiknya. “Berikanlah ini kepada ayah. Pakaikanlah ketika ia meninggal. Ini untuk mengingatkan bawa aku ada, walaupun terpisah jarak yang jauh.” “Lalu kamu, pakailah juga setiap hari, saat kamu bekerja, dan saat kamu melakukan semua ritual di Rai Hawu. Ingatlah aku, walau aku tidak bersama-sama dengan kamu di sana.” Hawu Miha pulang kembali ke Rai Hawu dan melakukan apa yang dipesankan oleh saudara laki-lakinya.

Lodo djawa miha hane hawu pe keliu
Manga kiha miha ta keliu ala wari
Madji le au ta j’au pe bali maloli mai

(Perginya Jawa Miha meninggalkan Sabu dalam kesepian)
(Terasa begitu sepi saat Hawu sendirian)
(Meski engkau jauh tetap kita saling membutuhkan)